KPAI : Pelanggaran Hak Anak Di Tahun 2021 Sebanyak 5.953 Kasus

INFODEPOK.NET– KPAI menyelenggarakan konferensi pers terkait catatan pelanggaran hak anak tahun 2021 dan proyeksi pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak tahun 2022. Konferensi pers dilaksanakan secara offline di Kantor KPAI, Jakarta Pusat dan juga secara daring melalui zoom. (24/01).

Konferensi pers dipimping langsung oleh Ketua KPAI, Dr. Susanto, MA dan dihadiri oleh Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, dan juga anggota KPAI diantaranya Margaret Aliyatul Maimunah, Retno Listyarti, Ai Maryati Solihah, Jasra Putra. Nampak hadir juga beberapa rekan jurnalis media.

Indonesia merupakan negara yang memiliki komitmen besar terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Komitmen tersebut dibuktikan dalam berbagai hal, baik aspek regulasi, kelembagaan, program dan sejumlah upaya lain. Masuknya aspek perlindungan anak dalam konstitusi, terbitnya sejumlah regulasi terkait perlindungan anak, beragamnya kelembagaan terkait anak serta semakin masifnya kebijakan dan program terkait perlindungan anak meneguhkan betapa spirit pemajuan perlindungan anak di Indonesia semakin baik.

Dalam konteks kebijakan nasional, 4 (empat) Arahan Presiden terkait dengan perlindungan anak yang perlu menjadi prioritas nasional, meliputi; pertama, peningkatan peran Ibu dan keluarga dalam pendidikan/pengasuhan anak; kedua, penurunan kekerasan terhadap anak; ketiga, penurunan pekerja anak; keempat, pencegahan perkawinan anak. Arahan dimaksud telah ditindaklanjuti oleh berbagai kementerian/lembaga serta civilsociety, meski demikian pelanggaran hak anak masih ditemukan dengan berbagai latar belakangnya.

Trend Kasus Pelanggaran Hak Anak Tahun 2021

Meski komitmen negara dalam berbagai aspek semakin baik, namun ragam pelanggaran hak anak di tahun 2021 masih terjadi baik pelanggaran terkait pemenuhan hak maupun terkait perlindungan khusus anak. Berdasarkan data pengaduan masyarakat cukup fluktuatif, tahun 2019 berjumlah 4.369 kasus, tahun 2020 berjumlah 6.519 kasus,dan tahun 2021 mencapai 5.953 kasus, dengan rinciankasus Pemenuhan Hak Anak 2971 kasus, dan Perlindungan Khusus Anak 2982.

  1. Trend Kasus Pemenuhan Hak Anak

Klaster Pemenuhan Hak Anak (PHA) menerima sebanyak 2.971 kasus selama tahun 2021. KPAI menerima kasus pada kluster Pemenuhan Hak Anak diurutkan dari yang paling tinggi adalah kluster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 2.281 kasus (76,8%), kluster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, Kegiatan Budaya, dan Agama sebanyak 412 kasus (13,9%), kluster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan sebanyak 197 kasus (6,6%), dan kasus kluster Hak Sipil dan Kebebasan sebanyak 81 kasus (2,7%).Lima Provinsi terbanyak aduan kasus Pemenuhan Hak Anak meliputiDKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah.

Kasus pada Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatifmemiliki jumlah kasus tertinggi sepanjang pengaduan KPAI dari tahun 2011. Pandemi covid-19 sangat berdampak pada kondisi keluarga dan berefek domino pada pengasuhan anak.  Kasus-kasus yang diadukan diantaranya Anak Korban Pelarangan Akses Bertemu Orang Tua(492), Anak Korban Pengasuhan Bermasalah/Konflik Orang Tua/Keluarga (423), Anak Korban Pemenuhan Hak Nafkah (408), Anak Korban Pengasuhan Bermasalah (398), dan Anak Korban Perebutan Hak Kuasa Asuh (306).

Klaster PHA juga melakukan advokasi pemenuhan hak pendidikan anak selama masa pandemi dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kesehatan anak sebagai prioritas. Hasil pengawasan KPAI terhadap Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) dengan kategori sangat baik 15,28%, baik 44,44%, cukup 19,44%, kurang 11,12%, dan sangat kurang 9,72%.KPAI mendorong sekolah/madrasah memenuhi seluruh syarat kebutuhan penyelenggaraan PTMT, ketaatan pada protokol kesehatan, ketercapaian vaksin mencapai minimal 70% bagi warga sekolah. Selain itu, komitmen Kepala Daerah sangat penting agar penyelenggaraan PTMT jika positivityrate-nya dibawah 5%. KPAI mendorong 5 SIAP untuk penyelenggaraan PTMT, yaitu SIAP Pemerintah Daerahnya, SIAP Sekolahnya, SIAP Gurunya, SIAP Orang Tua, SIAP Anaknya.

Pada klaster Kesehatan dan Kesejahteraan, KPAI juga melakukan advokasi vaksinasi Covid-19 pada anak. KPAI memperjuangkan vaksinasi bagi setiap anak tanpa kecuali, termasuk anak-anak yang tidak memiliki NIK (Nomor Induk Penduduk). Anak-anak yang berada di LKSA/PSAA, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dan kelompok anak rentan lainnya dapat tetap mendapatkan vaksin sekaligus menjadi bagian advokasi pemenuhan hak sipil anak. KPAI juga melakukan survei terkait “Persepsi Peserta Didik Terkait Vaksinasi Anak Usia 12-17 Tahun”, ditemukan bahwa masih ada 9% anak yang ragu-ragu dan 3% responden menolak vaksin. Edukasi tentang pentingnya vaksin harus terus diupayakan. Selain itu, KPAI mendorong perluasan capaian vaksin untuk semua anak khususnya usia 6-12 tahun dan menuntaskan dosis kedua untuk anak usia 12-17 tahun. KPAI mendorong agar pemerintah tetap meningkatkan kualitas pada layanan kesehatan dasar anak secara optimal termasuk imunisasi dasar, pencegahan stunting, serta layanan ibu hamil dan melahirkan. Edukasi 5M dan 1V (vaksin), mitigasi pencegahan, mendampingi pelaksanaan 3T (Tracing, Tracking, Testing), serta memperkuat strategi kebijakan pentahelix pada anak.

Salah satu dampak sosial dari Covid-19 adalah anak yang kedua orang tuanya meninggal bersamaan. KPAI mendorong pengumpulan data anak secara tersentral dan terverifikasi yang saat ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Dalam Negeri. Prioritas proses intervensi bagi anak yatim piatu akibat Covid-19 adalah perencanaan pengasuhan anak, penempatan pengasuhan dengan prioritas kepada keluarga besar dan pengasuhan berbasis keluarga, serta intervensi pemenuhan hak dasarnya.

Terkait dengan perkawinan anak, KPAI mendorong upaya massif penurunan perkawinan anak yang saat ini mencapai 10,35%. Kejadian perkawinan anak tidak hanya mereka yang dimohonkan dispensasi kawin namun juga perkawinan yang tidak tercatat. Pemenuhan hak dasar anak seperti pendidikan, edukasi kepada orang tua menjadi kunci pencegahan perkawinan usia anak. Dalam hal permohonan dispensasi kawin, perlu mempertimbangkan alasan mendesak dan bukti pendukung perlu dilandaskan pada penafsiran maslahah dan mafsadah yang ekspansif dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, serta faktor internal dan eksternal anak yang dimohonkan dispensasi. Selain itu, usia minimal kebolehan dimohonkan dispensasi juga penting dirumuskan. KPAI mendorong segera disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah Dispensasi Kawin sebagai upaya pengetatan pelaksanaan dispensasi kawin sebagai bagian dari pencegahan perkawinan anak secara optimal.

  1. Trend Kasus Perlindungan Khusus Anak

Jumlah pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus. Trend kasus pada kluster perlindungan khusus anak Tahun 2021 didominasi 6 kasus tertinggi yaitu pertama,anak korban kekerasan fisik dan atau psikis mencapai 1.138 kasus; kedua,anak korban kejahatan seksual mencapai 859 kasus; ketiga,anak korban pornografi dan cybercrimeberjumlah 345 kasus; keempat,anak korban perlakuan salah dan penelantaran mencapai 175 kasus; kelima,anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual berjumlah 147 kasus; dankeenam,anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku sebanyak 126 kasus.

Kasus kekerasan fisik dan psikis, anak korban penganiayaan mencapai 574 kasus, anak korban kekerasan psikis 515 kasus, anak korban pembunuhan 35 kasus, dan anak korban tawuran terdapat 14 kasus. Sementara,aduan tertinggi kasus kejahatan seksual terhadap anakberasal dari jenis anak sebagai korban pencabulan sebanyak 536 kasus (62%), anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan 285 kasus (33%), anak sebagai korban pencabulan sesama jenis 29 kasus (3%), dananak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis 9 kasus (1%).

Dilihat darisisi pelaku, para pelaku yang melakukan kekerasan fisik dan/atau psikis terhadap korban, umumnya adalah orang yang dikenal olehkorban dan sebagian kecil tidak dikenal oleh korban. Pelaku cukup variatif, yaitu teman korban, tetangga, kenalan korban, orangtua, oknum pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan dan oknum aparat. Dari sisi lokasi kasus,kekerasan fisik dan/atau psikis pada anak di Indonesia banyak terjadi di 5 (lima) provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Banten, dan Provinsi Sumatera Utara.

Adanya kasus anak menjadi korban kekerasan fisik dan/atau psikis di Indonesia dilatarbelakangi oleh beragam faktor. Diantaranya meliputi adanya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak.

Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak kompleks dan efek domino bagi maraknya kasus pelanggaran hak anak. Pandemi Covid-19 selanjutnya menyebabkan terjadinya keterpurukanekonomi keluarga, menurunnya kualitaskesehatan, tidak terpenuhinya pendidikan yang berkualitas yang kemudian berdampak bagi kondisi psikologis orangtua dan menimbulkan kerentanan ragam pelanggaran hak anak. Semakin dekatnya media digital dengan anak di masa Covid-19 sebagai salah satu alternatif layanan pendidikan, tanpa didukung literasiyang memadai menjadikan kerentanan anak terpapar dampak negatif teknologi sehingga memerlukanintervensi khusus dalam penanganannya. Perundungan pada anak melalui sosial media belakangan sering terjadi.Selain itu, anak-anak juga rentan mengalami kasus kekerasan seksual online yang dapat menimbulkan trauma dan gangguan psikis pada anak yang berdampak bagi tumbuh kembang anak di masa yang akan datang.

Selama tiga tahun terakhir, angka pekerja anak mengalami peningkatan. Data tahun 2020 peningkatan pekerja anak terjadi di usia 10 – 12 tahun dan 10 – 14 tahun. Maraknya eksploitasi ekonomiberkorelasi terhadap meningkatnya pekerjaan terburuk bagi anak (PBTA). Sedangkan terkait eksploitasi seksual dan TPPO menunjukkan fluktuasi jumlah dan kompleksitas kasus.

Untuk mencegah dan menangani ragam kasus terhadap anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melakukan banyak hal.Diantaranya meliputi:pertama,optimalisasi pengawasan untuk memastikan stakeholdermelakukan tugasnya sesuai tusi dan mengintegrasikan perspektif perlindungan anak; kedua, advokasi secara reguler untuk perbaikan sistem perlindungan anak di Indonesia dan memastikan inovasi pencegahan pelanggaran terhadap anak; ketiga,pengawasan terhadap proses hukum terhadap kasus-kasus anak agar sejalan dengan regulasi dan semangat pemajuan perlindungan anak di Indonesia; keempat,mengoptimalkan layanan dan penanganan terhadap korban. Berdasarkan hasil pengawasan KPAI tingkat ketuntasan penanganan anak korban kekerasan fisik, psikis dan seksual baru mencapai 48,3%, sehingga diperlukan adanya upaya serius agar korban tidak semakin rentan dan terdampak dalam kehidupannya. Kelima, pencegahan kekerasan terhadap anak berbasis institusi, baik berasrama maupun non asrama dengan Kebijakan Keselamatan Anak (childsafeguarding)

Isu Strategis Tahun 2022 dan Rekomendasi

Berdasarkantrendkasusdan dinamika perlindungan anak di Tahun 2021, KPAI memandang beberapa isu strategis yang perlu menjadi perhatian tahun 2022 meliputi:

  1. Intervensi anak yang kehilangan orangtua karena pandemi covid-19.
  2. Memastikan anakmendapatkan vaksinasi untuk anak usia 6-12 dan menuntaskan vaksinasi anak usia 12-17 tahun.
  3. Munculnya omicron di Indonesia yang menyebabkan anak rentan menjadi korban, maka pemerintah perlumengevaluasi kembali kebijakan PTM 100% dengan mempertimbangkan dan memprioritaskan keselamatan serta kesehatan anak.
  4. Penguatan pengasuhan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dan Taman Penitipan Anak yang berkualitas dan mudah di akses. Hal ini untuk mencegah munculnya potensi berbagai kasus perlindungan anak, baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku.
  5. Mengupayakan hadirnya regulasi terkait pemenuhan hak anak pada orangtua berkonflik.
  6. Memaksimalkan pencegahan perkawinan usia anak baik melalui edukasi pengetatan proses pemberian dispensasi di Pengadilan, serta menguatkan peran keluarga dan masyarakat dalam mencegah budaya perkawinan anak.Apalagi, Covid-19 juga menimbulkan potensi terjadinyaperkawinan usia anak yang disebabkanberbagai faktor.
  7. Pemerintah hendaknya merumuskan strategi untuk pencegahan dan penanggulangan potensi angka putus sekolah sebagai dampak covid-19 dan efek domino ekonomi keluarga.
  8. Mengoptimalkan upaya-upaya pencegahan anak terpapar rokok dan sebagai perokok aktif melalui regulasi dan edukasi, serta mencegah adanya segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok.
  9. Optimalisasi kualitas layanan rehabilitasi anak korban.
  10. Meningkatkan penguatan forum anak sebagai pelopor dan pelapor perlindungan anak.
  11. Optimalisasi perlindungan anak berbasis siber dan kejahatan transnasional melalui regulasi dan edukasi terkait.
  12. Edukasi literasi digital dengan melibatkan sekolah, keluarga, masyarakat, media, dan pihak terkait.
  13. Memastikan tanggungjawab media platform untuk mengintegrasikan etika perlindungan anak dalam layanan.
  14. Mengoptimalkan pengawasan Perlindungan Anak dari trafficking, terutama aktivitas anak di dunia siber mengingat kasus-kasus perdagangan orangsaat ini banyak berbasis
  15. Mendorong roadmap Indonesia bebas pekerja anak
  16. Mendorong gugus tugas TPPO bekerja lebih optimal
  17. Penguatan kapasitas aparat penegak hukum terkait perlindungan anak, termasuk perlindungan anak di dunia siber.
  18. Peningkatan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak menjadi setingkat direktorat di Bareskrim Mabes Polri dan mengupayakan adanya Unit PPA di tingkat Polsek dengan jumlah penanganan kasus anak yang tinggi.
  19. Penguatan nilai-nilai nasionalisme dan toleransi bagi usia anak melalui berbagai pendekatan formal dan non formal.
  20. Penguatan dan Pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Anak di Daerah.

     DV/ID

Posting Komentar untuk "KPAI : Pelanggaran Hak Anak Di Tahun 2021 Sebanyak 5.953 Kasus"